
Bagaimanapun, habitat yang paling sukai gajah adalah hutan dataran rendah. Dimasa lalu, sebagian besar pulau sebagai habitat gajah masih hutan, sehingga gajah mengadakan migrasi luas. Menurut Piaters (1938), ketika habitatnya masih berhutan gajah berpindah dari daerah gunung ke dataran rendah pantai selama musin kering dan naik ke bukit satu kali ketika musim hutan. Akan tetapi, saat ini koversi dan pembukaan hutan dataran rendah, gajah terpaksa bergerak ke tempat lebih tinggi, merupakan keterpencilan, kesukaran daerah, kepadatan pada beberapa tingkat persediaan penutupan lahan untuk perlindungan.
Dewasa ini, situasi komplik manusia dan gajah terdapat dua perbedaan sikap yang terjadi di masyarakat menurut WWF Indonesia dan Balai KSDA Provinsi Riau, pertama, masyarakat tidak terlalu peduli dengan komplik dan menganggap gangguan ini adalah persoalan yang biasa dihadapi dari tahun ke tahun. Masyarakat cenderung tidak reaktif terhadap gajah. Masyarakat melakukan penanggulangan dengan membuka lahan secara berkelompok, melakukan rondamalam, membuat api unggun dan apabila gajah datang mereka melakukan pengusiransecara bersama dengan membuat bunyi-bunyian dan membawa obor. Kedua, masyarakat yang reaktif terhadap ganguan gajah yang terjadi. Gajah cenderung diperlakukan sebagai pihak yang harus disalahkan. Hal ini dipicu karena gangguan gajah yang terjadi dari tahun ke tahun semakin meningkat frekuensi dan penyebarannya, serta besarnya investasi yang telah hilang karena dirusak gajah. Penyelesaian yang ada di pikiran kelompok ini hanya satu, yaitu gajah harus disingkirkan dengan cara apapun, sehingga tidak jarang, ditemukan gajah yang mati, baik disengaja atau tidak [DE].
0 komentar:
Posting Komentar